Berkarya untuk pendidikan melalui menulis, membaca dan mempublikasikan produk dari Teknologi Pendidikan
Saturday, 13 September 2014
FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
“Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Gaya Berfikir Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa MTsN Simpang Kiri Kota Subulussalam”
Disusun oleh:
1. Candra Sihotang (8136121004)
2. Eka Rahma Dewi (8136121007)
3. Lusy Mariana Pasaribu (8136121015)
4. Tengku Salwa Miranti (8136121029)
Dosen: Prof. Dr. Ibrahim Gultom, M.Pd
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Pengertian filsafat antara satu ahli filsafat atau filsuf dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir sama. Namun secara etimologi kata filsafat dalam bahasa Inggris adalah Philosophy dan dalam bahasa Arab falsafash, yang keduanya berasal dari bahasa Yunani yakni Fhilosofia. Fhilosofia terdiri atas dua suku kata yakni philein dan sophia. Fhilein berarti cinta dan sofhia berarti kebijaksanaan. Sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan (Edward, 2013).
Berdasarkan tinjauan dari falsafah ilmu, setiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang didukungnya (Suriasumantri, 2010). Ketiga komponen tersebut adalah ontology (apa), epistemology (bagaimana) dan aksiologi (untuk apa). Selanjutnya Suriasumantri mengemukakan bahwa ontology merupakan asas dalam menetapkan ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan, serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut (Miarso, 2011)
Filsafat pendidikan sebagaimana cabang filsafat lainnya mencakup sekurang-kurangnya tiga cabang utama dari filsafat yakni ontologi, epistemology dan aksiologi. Ontologi pendidikan mempelajari keberadaan dalam bentuknya yang paling abstrak (Surajiyo, 2008). Dapat dikatakan bahwa ontologi membicarakan tatanan dan struktur kenyataan dalam arti yang luas. Atas dasar pengertian ontology tersebut, maka pandangan ontologi dari pendidikan adalah manusia, mahluk mulia, potensi, interaksi, budaya dan lingkungan.
1
Berdasarkan uraian di atas, ontology yang dibahas adalah ilmu pendidikan, dengan batasan masalah pengaruh strategi pembelajaran dan gaya berfikir terhadap hasil belajar matematika siswa MTsN Simpang Kiri Kota Subulussalam. Ontologi ini dilatar belakangi oleh masalah pendidikan yang merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Hal ini merupakan hal yang wajar karena semua orang berkepentingan dan ikut terlibat dalam proses pendidikan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka membangun pemahaman siswa yang nantinya diharapkan bermuara pada peningkatan mutu pendidikan, khususnya pendidikan matematika.
Seharusnya matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang menyenangkan dan digemari oleh siswa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mata pelajaran matematika masih merupakan pelajaran yang dianggap sulit, membosankan dan sering menimbulkan masalah dalam belajar. Kondisi ini mengakibatkan mata pelajaran matematika tidak disenangi, tidak diperdulikan dan bahkan diabaikan. Hal ini tentunya menimbulkan kesenjangan yang cukup besar antara apa yang diharapkan dari belajar matematika dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Dalam proses pembelajaran matematika selama ini, guru menerapkan strategi klasikal dengan metode ceramah menjadi pilihan utama sebagai metode pembelajaran. Dominasi metode ceramah dalam pembelajaran matematika cenderung berorientasi pada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks, serta jarang mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil observasi di MTsN Simpang Kiri menunjukkan bahwa dalam pembelajaran matematika di kelas proses belajar-mengajar masih didominasi oleh guru, dimana guru sebagai sumber utama pengetahuan. Hal ini dilakukan oleh guru karena guru mengejar target kurikulum untuk menghabiskan materi pembelajaran atau bahan ajar dalam kurun waktu tertentu. Guru juga lebih menekankan pada siswa untuk menghapal konsep-konsep, terutama rumus-rumus praktis, yang nantinya bisa digunakan oleh siswa dalam menjawab soal ulangan harian, ulangan umum atau pun UAN tanpa melihat secara nyata manfaat materi yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan semakin beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan mereka, abstrak dan sulit dipahami. Akibatnya siswa selalu memandang matematika sebagai pelajaran yang “menakutkan” bahkan yang lebih ekstrim lagi siswa mengangap matematika itu sebagai “musuh”. Semua itu pada akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang diperoleh siswa dalam pelajaran matematika.
Sebagai salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) perlu diubah atau direvisi agar mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Guru perlu merancang suatu pembelajaran yang menunjang rencana tersebut. Guru harus mampu mengupayakan membuat penyajian materi pelajaran matematika yang menarik dan menyenangkan. Dengan demikian pembelajaran yang sesuai diasumsikan adalah adalah pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran yang berupaya mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengalaman siswa. Pembelajaran kontekstual tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan di benak siswa sendiri (Eveline dan Hartini, 2010)
Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya, perolehan informasi dan merespon permasalahan yang diberikan. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif). Sedangkan pembelajaran matematika yang menggunakan pembelajaran konvensional cenderung mengarahkan siswa untuk memberi respon yang tunggal terhadap permasalahan yang diberikan. Siswa diharuskan menjawab “benar” untuk setiap jawaban benar, kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mencoba menerapkan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan melaksanakan penelitian berjudul “Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Gaya Berfikir Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa MTsN Simpang Kiri Kota Subulussalam”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional?
2. Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya berpikir divergen dengan siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen?
4. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu yang akan dicari solusinya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan pembelajaran konvensional.
2. Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang memiliki gaya berpikir divergen dengan siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah aksiologi dari ilmu pendidikan itu sendiri. Landasan aksiologi dalam praktek pelaksanaan pendidikan didasarkan pada nilai-nilai dasar yang menekankan bahwa pendidikan digunakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa mencakup seluruh bangsa, warga Negara, tua dan muda, kaya miskin, masyarakat di kota dan di desa tanpa memandang latar belakang dalam hidup dan kehidupan, kofnitif, psikomotor, afektif, totalitas dan integratif. Praktek pelaksanaan pendidikan harus berlandaskan nilai dan budaya, jangan mengarah pada terbentuknya pengelompokan dalam praktek hidup dan kehidupan masyarakat (Edward, 2013).
Pendidikan bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting untuk pembinaan kepribadian seseorang. Implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di dalam pendidikan harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan pendidikan secara praktis dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. (Jalauddin Abdullah, 2011).
Manfaat (aksiologi) yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi guru
Penelitian ini akan memberikan pengalaman yang bermanfaat dalam merancang pembelajaran kontekstual dan memfasilitasi pembelajaran. Dari pengalaman tersebut diharapkan guru dapat mengembangkan model pembelajaran, LKS dan sumber belajar sejenis pada pokok bahasan yang lain dan dapat mengimplementasikannya dalam kelas.
2. Bagi siswa
Penelitian ini akan sangat bermanfaat karena secara tidak langsung mereka terbantu dalam diajar konsep-konsep matematika yang sangat memberi peluang bagi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar mereka secara optimal. Hal ini disebabkan karena pembelajaran kontekstual memberikan kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan teman-temanya dan materi yang dipelajari dirancang terkait dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa menjadi lebih tertarik belajar matematika.
3. Untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan strategi pembelajaran yang mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari (konteks). Hasil penelitian ini akan memberikan informasi yang rinci tentang keunggulan dan kelemahan pendekatan pembelajaran kontekstual yang teruji secara eksperimen.
BAB II
KAJIAN TEORI, PENGAJUAN HIPOTESIS DAN METODE PENELITIAN
A. Kajian Teori
1. Hakikat Pembelajaran Matematika
a. Pembelajaran Matematika
Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai contoh, bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari benda-benda kongkrit dengan melakukan proses abstraksi dari benda-benda nyata. Pada awalnya matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunia nyata, kemudian pengalaman itu diolah dan diproses dalam struktur kognitif sehingga sampai pada suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika. Agar konsep matematika yang terbentuk dapat dipahami orang lain, maka digunakan notasi dan istilah yang cermat dan disepakati secara universal yang dikenal dengan bahasa matematika. Oleh karena matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari maka dari itu proses pembelajaran matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah dipikirkan siswa.
6
Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah yang sejalan dengan konsep belajar bermakna adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehubungan dengan itu siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kehidupan praktis dan memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, selain itu agar siswa mampu memahami bidang studi lain, berpikir logis, kritis (berpikir konvergen), praktis serta bersikap positif dan kreatif (berpikir divergen). Oleh karena itu, matematika akan lebih menarik bagi siswa jika dalam pembelajaran matematika guru mengaitkan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan mereka sehari-hari, sehingga siswa akan menjadi tahu tujuan mereka belajar dan belajar menjadi lebih bermakna. Menurut Wina (2012) penerapan strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah mampu mengoptimalisasikan interaksi seluruh unsur pembelajaran.
b. Prestasi Belajar Matematika
Prestasi belajar merupakan suatu indikator yang dapat menunjukkan tingkat kemampuan dan pemahaman siswa dalam belajar. Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu. Menurut Suherman (2001) prestasi belajar adalah penguasaan seseorang terhadap pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata pelajaran, yang lajimnya diperoleh dari nilai tes atau angka yang diberikan guru. Berdasarkan pendapat Nasution perstasi belajar dapat dilihat dari nilai transkrip yaitu nilai raport, karena nilai raport merupakan perumusan terakhir dari upaya yang dilakukan pendidik (guru) dalam pemberian penilaian belajar terhadap peserta didik selama satu semester.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor tersebut dalam banyak hal saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Sudjana (2000), mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor luar (eksternal) dan faktor dalam (internal). Faktor luar terdiri atas lingkungan, meliputi: lingkungan alami dan lingkungan sosial, dan instrumental meliputi: kurikulum, program, sarana dan prasarana, serta guru. Faktor dalam terdiri atas faktor fisiologis, meliputi: kondisi fisik secara umum dan kondisi pancaindera, dan faktor psikologis, meliputi: minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan gaya berpikir.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, yang dimaksud dengan prestasi belajar matematika dalam penelitian ini adalah tingkat penguasaan kognitif siswa terhadap materi pelajaran matematika setelah mengalami proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, berupa nilai yang dituangkan dalam bentuk angka yang diperoleh dari hasil menjawab tes prestasi belajar matematika yang diberikan pada akhir penelitian. Tetapi pada penelitian ini akan dibatasi hanya mengungkap prestasi belajar siswa pada ranah konitif saja dengan penekanan pada tes bentuk tertulis.
2. Hakikat Pembelajaran Kontekstual
a. Landasan Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang bersifat eksternal (datang dari luar pebelajar) serta sengaja dirancang atau didesain (terprogram) sehingga memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar.
Pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Piaget (dalam Wina, 2012). Seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu tersebut. Filsafat konstruktivisme ini kemudian mempengaruhi tentang konsep belajar, bahwa belajar bukanlah sekadar menghafal pengetahuan tetapi proses pengonstruksian pengetahuan berdasarkan pengalaman.
Dalam pembelajaran matematika, konteks yang dimaksud adalah materi pelajaran atau soal matematika yang dikaitkan dengan situasi kehidupan nyata siswa yang dekat dengan keseharian siswa. Contoh soal yang dekat dengan keseharian siswa adalah: Ani membeli 10 buah buku tulis di Pasar Marga dengan harga 11.500 rupiah, berapakah harga dua buah buku tulis?. Contoh di atas akan mampu dikerjakan oleh siswa, serta situasinya mudah dibayangkan karena dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa. Di satu sisi ada soal yang mampu dikerjakan oleh siswa tetapi situasinya sulit dibayangkan. Contoh soal yang situasinya sulit dibayangkan oleh siswa adalah: Sebuah satelit terbang dari bumi menuju bulan dengan kecepatan 700 km/jam. Jika jarak bumi dan bulan adalah 21.000 km, berapakah waktu yang diperlukan oleh satelit itu untuk sampai di bulan?
Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam pembelajarannya dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, serta lebih menekankan pada belajar bermakna (Rusman, 2011).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
b. Komponen Pembelajaran Kontekstual
Dalam penerapannya di kelas, pembelajaran kontekstual tetap memperhatikan tujuh komponen pokok pembelajaran yang efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), penilaian autentik (authentic assessment) dan refleksi (reflection) (Rusman,2011). Berikut ini dijelaskan masing-masing komponen pokok pembelajaran kontekstual, seperti diungkapkan di atas.
a. Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman (Rusman, 2011). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam pandangan ini cara memperoleh pengetahuan lebih diutamakan dari pada hasil pengetahuan yang diperoleh oleh siswa. Oleh karena itu tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dan bukan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa.
b. Menemukan (inquiry)
Asas kedua dalam pembelajaran kontekstual adalah penemuan. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Menemukan merupakan kegiatan inti dalam pembelajaran kontekstual (Rusman,2011). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa bukan hasil dari mengingat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Untuk itu dalam pembelajaran kontekstual peran guru adalah merancang kegiatan yang dapat memfasilitasi siswa untuk menemukan konsep, prinsip atau ketrampilan yang diinginkan.
c. Bertanya (questioning)
Dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa menemukan sendiri. Oleh karena itu, peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan konsep-konsep atau kaidah-kaidah yang terdapat dalam materi yang dipelajari (Sanjaya, 2012).
d. Masyarakat Belajar (learning community)
Dalam pembelajaran kontekstual, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif (Depdiknas, 2002; Sanjaya, 2012). Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang yang anggotanya bersifat heterogen, baik dari segi kemampuan, gaya berpikir, jenis kelamin, motivasi, ras maupun bakat dan minatnya.
e. Pemodelan (modeling)
Asas pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Sanjaya, 2012). Dalam pembelajaran kontekstual model keterampilan atau pengetahuan sangat diperlukan. Model yang dimaksud bisa berupa model proses belajar-mengajar maupun model hasil belajar, seperti misalnya cara mengoprasikan sesuatu, cara mengerjakan sesuatu dan sebagainya.
f. Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang telah dilakukan di masa lalu dan apa yang perlu dilakukan berikutnya. Menurut Sanjaya (2012) refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian pembelajaran yang telah dilalui siswa. Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut mampu memfasilitasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru.
g. Penilaian Autentik (authentic assessment)
Penilaian autentik menitik beratkan pada penilaian proses dengan tanpa mengesampingkan penilaian hasil. Hal ini didasarkan bahwa sebenarnya pembelajaran seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari materi, tetapi bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir satuan pembelajaran. Ini berarti informasi dikumpulkan oleh siswa selama pembelajaran maupun setelah pembelajaran. Pengumpulan informasi tersebut tidak saja dari guru, tetapi bisa dari teman sejawat atau orang lain yang terlibat dalam pembelajaran.
3. Hakikat Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Pada pembelajaran konvensional, proses belajar mengajar lebih sering diarahkan pada “aliran informasi” atau “transfer” pengetahuan dari guru ke siswa. Konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari “apa kata guru”. Siswa terlatih seperti “burung beo” yang hanya pintar meniru tapi sulit sekali menciptakan sendiri. Dalam pembelajaran konvensional siswa terlatih berpikir konvergen (mencari satu jawaban benar) dan kurang sekali dibina berpikir divergen (mencari berbagai alternatif jawaban terhadap satu soal).
Guru menganggap belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Proses pembelajaran cenderung hanya mengantarkan siswa untuk mencapai tujuan untuk mengejar target kurikulum, sehingga proses pembelajaran di kelas memiliki ciri-ciri 1) guru aktif, tetapi siswa pasif, 2) pembelajaran berpusat pada guru (teacher oriented), 3) transfer pengetahuan dari guru pada siswa dan 4) pembelajaran bersifat mekanistik.
Akibat dari pembelajaran tersebut siswa menjadi terbiasa menerima apa saja yang diberikan oleh guru tanpa mau berusaha menemukan sendiri konsep-konsep yang sedang dipelajari. Guru akan merasa bangga ketika anak didiknya mampu menyebutkan kemabali secara lisan (verbal) sebagaian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diberikan oleh guru. Penekanan pembelajaran adalah diperolehnya kemampuan mengingat (memorizing) dan bukan kemampuan memahami (understanding).
a. Perbandingan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Konvensinal
Dalam prakteknya di lapangan, pola pembelajaran kontekstual sangatlah berbeda dengan pembelajaran konvensional yang selama ini diterapkan. Secara garis besar perbedaan antara pola pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional menurut Sanjaya (2012) sebagai berikut :
Pendekatan Kontekstual Pendekatan Konvensional
Menyandarkan pada paradigma siswa belajar Menyandarkan pada paradigma guru mengajar
Pembelajaran dikaitkan dengan konteks nyata keseharian siswa (nyata) Pembelajaran teoritis, abstrak dan kurang mengaitkan dengan kehidupan nyata siswa (maya)
Ketrampilan dikembangkan atas dasar pemahaman. Ketrampilan dikembangkan atas dasar latihan
Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan individu siswa Pemilihan informasi ditentukan oleh guru
Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan awal siswa Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan
Siswa secara aktif telibat dalam pembelajaran Siswa adalah penerima informasi pasif
Siswa menggunakan kemampuan berfikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan ikut bertanggung jawab atas terjadinya pembelajaran yang efektif Siswa secara pasif menerima rumus, kaidah tanpa memberi konstribusi ide dalam pembelajaran
Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi dan saling mengoreksi Siswa belajar secara individu
Kemajuan belajar diukur dengan berbagai cara dan sumber Kemajuan belajar diukur dengan tes
Pembelajaran bisa terjadi di berbagai tempat Pembelajaran lebih cendrung di dalam kelas
Menerapkan penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah Penilaian hasil belajar hanya melalui hafalan akademik berupa ulangan atau ujian
Dengan melihat keunggulan-keunggulan dan karakteristik pembelajaran kontekstual, maka dalam penerapannya di kelas diharapkan siswa dapat mempelajari materi pelajaran yang disajikan oleh guru melalui konteks kehidupan mereka dan mereka dapat menemukan arti di dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi lebih berarti dan menyenangkan bagi siswa. Di samping itu siswa akan merasakan manfaat langsung dari materi yang sedang dipelajari. Dengan demikian diharapkan hasil belajar siswa akan lebih baik dan lebih siap menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya nanti.
4. Hakikat Gaya Berfikir
Gaya berpikir divergen dan konvergen memiliki karakteristik bipolar (http://www.litagama.org/Jurnal/Edisi5 /StrategiPemb.htm). Dengan demikian, pembedaan gaya berpikir divergen dan konvergen sebenarnya adalah upaya memahami perbedaan individu dalam kecenderungannya memproses informasi dan merespon stimuli atau mendekati suatu tugas, apakah sebagai cenderung divergen atau cenderung secara konvergen. Siswa dikategorikan cenderung divergen, apabila dalam menghadap suatu persoalan (tugas) cenderung melihatnya dari berbagai segi, mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Sebaliknya dikategorikan sebagai cenderung konvergen, apabila dalam menghadapi suatu persoalan selalu memandangnya dari satu sisi, respon yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Jadi setiap orang sebenarnya memiliki kedua cara berpikir itu, hanya tingkat dominasinya yang berbeda.
B. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan kaitan antara masalah yang dirumuskan dengan teori yang dikemukakan maka dapat disusun suatu hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional?
2. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya berpikir divergen dengan siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen?
3. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.
C. Metode Penelitian
Berdasarkan landasan ontology dan aksiologi, dapat dikembangkan landasan epistemology yang cocok dengan memperhitungkan aspek ontology dan aksiologi masing-masing. Epistemologi menyelidiki secara kritis hakikat, landasan, batasan, dan patokan kesahihan pengetahuan. Epistemologi pendidikan dimaksudkan menjadi sumber-sumber pengetahuan dan kebenaran dalam praktek pelaksanaan pendidikan (Edward, 2013).
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang dimanakan epistemology. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan (Suriasumantri, 2010:119). Jadi yang menjadi epistemology dari makalah ini adalah langkah-langkah penelitian yang tercantum dalam Metode Penelitian berikut.
a. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di MTsN Simpang Kiri Kota Subulussalam. Pelaksanaan penelitian ini direncanakan adalah semester II tahun ajaran 2013/2014, terhitung mulai bulan Januari – Juni 2014. Perlakuan penelitian dilaksanakan dengan menyesuaikan jadwal pelajaran. Perlakuan dilakukan sebanyak 5 pertemuan, 2 kali pertemuan perminggu dan alokasi waktu setiap pelajaran adalah 2 x 40 menit.
b. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II MTsN yang dibagi menjadi tujuh kelas yaitu kelas VIIIA, VIIIB, VIIIC, VIIID, VIIIE, VIIIF, VIIIG. Informasi yang diperoleh dari Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan bahwa ketujuh kelas terdistribusi ke dalam kelas-kelas yang setara secara akademik. Dikatakan setara, karena dalam pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas tersebut disebar secara merata antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hal ini berarti tidak terdapat kelas unggulan maupun non unggulan.
2. Sampel Penelitian
Pemilihan sampel penelitian ini tidak dilakukannya pengacakan individu, karena tidak bisa mengubah kelas yang telah terbentuk sebelumnya. Berdasarkan karakteristik populasi dan tidak bisa dilakukannya pengacakan individu, maka pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik random sampling (Sudjana, 2002). Mula-mula diambil empat kelas secara acak sebagai sampel penelitian dari tujuh kelas yang ada. Setelah diperoleh empat kelas sebagai sampel, dilanjutkan dengan memilih secara acak dua kelas sebagai kelompok eksperimen dan dua kelas sebagai kelompok kontrol. Untuk lebih meyakinkan bahwa kedua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setara, peneliti akan melakukan uji-t untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan skor rata-rata prestasi belajar matematika.
Kreteria pengujian: jika thit> ttabel dengan taraf signifikan 0,05 maka kedua kelas dinyatakan setara. Sedangkan distribusi data yang akan digunakan dalam uji-t ini adalah nilai raport siswa pada semester genap tingkat sebelumnya. Walaupun nilai raport terdapat unsur ojektivitasnya, tetapi unsur tersebut tidak diberikan pada individu tertentu melainkan secara keseluruhan.
c. Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada kelas VIII semester 2 tahun ajaran 2013/2014 di MTsN Simpang Kiri Kota Subulussalam. Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran kontekstual dan gaya berpikir siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa, dengan memanipulasi variabel bebas yaitu pembelajaran kontekstual dan gaya berpikir siswa, sedangkan variabel yang lain tidak bisa dikontrol secara ketat sehingga desain penelitian yang digunakan adalah desain eksperimen semu (quasy exsperiment).
Desain eksperimen yang digunakan adalah desain grup faktorial 2x2. Pemilihan metode ini disesuaikan dengan data yang diharapkan, yaitu perbedaan prestasi belajar matematika sebagai akibat perlakuan yang diberikan. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah prestasi belajar matematika siswa. Sebagai variabel bebas perlakukan adalah pendekatan pembelajaran, yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional. Sebagai variabel moderator adalah gaya berpikir, yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu gaya berpikir konvergen dan gaya berpikir divergen. Secara skematis desain penelitian ini dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel Desain Penelitian
Pembelajaran (A)
Gaya Berpikir (B)
Kontekstual
(A1)
Konvensional
(A2)
Gaya Berpikir Divergen (B1) A1B1 A2B1
Gaya Berpikir konvergen (B2) A1B2 A2B2
Total A1B1 + A1B2 A2B1 + A2B2
Keterangan:
A1 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran kontekstual
A2 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensioal
B1 = Kelompok siswa yang memiliki gaya berpikir divergen
B2 = Kelompok siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen
A1B1 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran kontekstual dan memiliki gaya berpikir divergen
A2B1 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional dan memiliki gaya berpikir divergen
A1B2 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran kontekstual dan memiliki gaya berpikir konvergen
A2B2 = Kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional dan memiliki gaya berpikir konvergen
d. Prosedur Penelitian
Pada penelitian ini, langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Menentukan sampel berupa kelas dari populasi yang tersedia dengan cara random.
2. Dari sampel yang telah diambil kemudian diundi untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3. Menyusun media pembelajaran (alat peraga, LKS, Silabus, dll) yang nantinya digunakan selama proses belajar-mengajar pada kelompok eksperimen.
4. Menyusun instrumen penelitian berupa tes prestasi belajar pada ranah kognitif untuk mengukur prestasi belajar mtematika siswa.
5. Mengkonsultasikan instrumen penelitian dengan guru matematika, dosen matematika, dan dosen pembimbing.
6. Mengadakan validasi instrumen penelitian yaitu tes prestasi belajar matematika.
7. Memberikan tes gaya berfikir untuk memilah gaya berfikir konvergen dan gaya berfikir divergen siswa.
8. Melaksanakan penelitian yaitu memberikan perlakuan kepada kelas eksperimen berupa pembelajaran kontekstual.
9. Memberikan perlakuan kepada kelas kontrol berupa pembelajaran konvensional.
10. Memberikan pos-test pada akhir penelitian, baik utuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.
11. Menganalisis data hasil penelitian dan melakukan uji hipotesis.
e. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian
1. Variabel Penelitian
Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel terikat yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran kontekstual yang dikenakan pada kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional yang dikenakan pada kelompok kontrol. Sedangkan variabel bebas intervensi adalah gaya berfikir siswa yang dibagi menjadi gaya berfikir konvergen dan gaya berfikir divergen.
b. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah prestasi belajar matematika siswa.
2. Definisi Operasional
Untuk menggambarkan secara operasional variabel penelitian, di bawah ini diberikan definisi operasional masing-masing variabel.
a. Pendekatan Konvensional
Yang dimaksud dengan pendekatan konvensional dalam penelitian ini adalah prosedur yang digunkan guru dalam membahas suatu pokok bahasan yang telah biasa digunkan dalam pembelajaran matematika. Langkah-langkah pembelajaran diawali dengan penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, pemberian contoh soal dan diakhiri dengan latihan soal.
b. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran di mana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam pembelajarannya dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan kehidupan mereka sehari-hari serta lebih menekankan pada belajar bermakna.
c. Gaya Berfikir
Gaya berfikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu permasalahan tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Klasifikasi gaya berfikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah berfikir konvergen dan berfikir divergen. Pengukuran gaya berfikir siswa dilakukan dengan menggunakan tes berfikir divergen yang dikembangkan oleh Utami Munandar.
d. Prestasi Belajar Matematika
Prestasi belajar matematika adalah tingkat penguasaan kognitif siswa terhadap materi pelajaran matematika setelah mengalami proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Prestasi belajar ini dinyatakan dengan skor yang diperoleh siswa dalam menjawab tes prestasi belajar matematika pada ranah kognitif yang diberikan pada akhir penelitian, dan data yang diperoleh berupa data interval.
f. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini data yang diperlukan adalah data tentang prestasi belajar matematika dan data tentang gaya berfikir siswa. Untuk mengumpulkan kedua data tersebut diperlukan dua macam tes, yaitu tes untuk mengukur prestasi belajar matematika dan tes untuk memilah gaya berfikir siswa, yaitu gaya berfikir konvergen dan divergen.
g. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik statistic deskriptif dan inferensial. Teknik statistic digunakan untuk mendeskripsikan data, antara lain: nilai rata-rata (mean), median, modus, standart deviasi (sd) dan kecenderungan data. Teknik statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis penelitian, dimana teknik inferensial yang akan digunakan adalah teknik Analisis Varians Dua jalur (desain factorial 2 x 2 ) dengan taraf signifikan 0,05 (sudjana, 2002). Sebelum Anava dua jalur dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis yakni uji normalitas dengan menggunakan Uji Chi Kuadrat, sedangkan persyaratan homogenitas menggunakan Uji barlett.
Setelah melakukan pengujian persyaratan analisis, selanjutnya dilakukan pengujian Anava dua jalur. Jika ditemukan terdapat interaksi antara strategi pembelajaran dan kecemasan berkomunikasi yang signifikan, maka diadakan uji lanjutan. Jika jumlah sampel tiap sel sama (n sama) maka uji lanjutan dilakukan dengan Uji Tuckey dan jika jumlah sampel tiap sel berbeda (n berbeda) maka uji lanjutan dilakukan dengan Uji Scheffe.
Selanjutnya untuk keperluan pengujian hipotesis, dirumuskan hipotesis statistic sebagai berikut :
Hipotesis pertama : Hipotesis Kedua : Hipotesis Ketiga :
Ho : μA1 = μA2 Ho : μB1 = μB2 Ho : A >< B = 0
Ha : μA1 > μA2 Ha : μB1 > μB2 Ha : A >< B 0
Keterangan:
μA1 = Hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran kontekstual
μA2 = Hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensioal
μB1 = Hasil belajar siswa yang memiliki gaya berpikir divergen
μB2 = Hasil belajar siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Karena penelitian dalam makalah ini belum dilaksanakan, masih dalam konsep yang akan dilaksanakan maka kesimpulan yang kami uraikan adalah kesimpulan tentang filsafat pendidikan itu sendiri, bukan kesimpulan hasil pengujian hipotesis.
Berdasarkan landasan ontology, epistemology dan aksiologi dapat disimpulkan bahwa :
1. Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tau dan mempelajari teori tentang ada (teori hakekat). Ontologi yang dibahas dalam makalah ini adalah Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Gaya Berfikir Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa MTsN Simpang Kiri Kota Subulussalam.
2. Epistemologi membahas bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan tentang obyek tertentu dan mempelajari teori tentang pengetahuan/teori pengetahuan. Jadi yang menjadi epistemology dari makalah ini adalah langkah-langkah penelitian yang tercantum dalam Metode Penelitian berikut.
3. Aksiologi membahas nilai kegunaan pengetahuan atau mempelajari teori tantang nilai. Manfaat (aksiologi) yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah : (a). memberikan pengalaman bagi guru merancang pembelajaran kontekstual dan memfasilitasi pembelajaran; (b). Siswa akanterbantu untuk memahami konsep-konsep matematika yang dapat memberi peluang bagi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar mereka secara optimal; (c). Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan strategi pembelajaran yang mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari (konteks).
B. Saran
19
Karya ilmiah atau tugas akhir dari mahasiswa harus sesuai dengan dasar, konsep dan landasan dari filsafat. Untuk itu diharapkan mahasiswa mampu dan dapat memahami filsafat sebagai dasar dalam pembuatan karya ilmiah atau tesis nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin dan Abdullah. (1997). Filsafat Pendidikan. Jakarta : Baya Madya.
Miarso, Yusufhadi. (2011). Menyemai Benih Teknologi Pnedidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Purba, Edward. (2013). Filsafat Pendidikan. Medan : Unimed Press.
Rusman. (2010). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sanjaya, Wina. (2012). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Siregar, Eveline dan Hartini Nara. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor : Ghalia Indonesia.
Sudjana.(2001). Metoda Statistika. Bandung : Tarsito
Suherman, E dan Winata Putra. (2001). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta Depdikbud.
Surajiyo. (2008). Filsafat Ilmu dan Perkembangan di Indonesia Suatu Pengantar. Jakarta : Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun.S. (2010). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
20
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment