Saturday 13 September 2014

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI ILMU PENDIDIKAN


ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI ILMU PENDIDIKAN











Disusun oleh Kelompok 3 :

1.    Candra Sihotang                (08136121004)
2.    Milli Alfhi Syari                 (08136121018)
3.    Try Ade Junita Wulandari         (08136121032)
4.    Try Yayuk Junita Wulandari        (08136121033)  

Dosen Pengampu : Dr. Keysar Panjaitan, M.Pd







PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2013
KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia-Nya berupa rahmat dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Filsafat Ilmu Pendidikan” sebagai tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
    Terima kasih kami ucapkan kepada Dosen Pengampu mata kuliah serta semua pihak yang telah ikut berpartisipasi secara langsung dan tidak langsung sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini.
    Kami menyadari bahwa makalah ini mengandung kekurangan sekalipun telah diupayakan seoptimal mungkin oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang jauh lebih baik.
    Semoga makalah ini memberikan manfaat dan menambah wawasan tentang penelitian bagi siapapun yang membacanya.


Medan, 3 September 2013


Tim Penulis











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR    ……………………………………………………………    i
DAFTAR ISI    ………………………………………………………………………    ii
BAB I    PENDAHULUAN    ………………………………………………………    1
    1.1 Latar Belakang Masalah    ……………………………………………..    1
    1.2 Rumusan Masalah    ……………………………………………………    2
    1.3 Tujuan Pembahasan    ………………………………………………….    2
BAB II    PEMBAHASAN     ……………………………….……………………….    3
    2.1 Pengertian Filsafat    ………………………………………………………….    3
    2.2 Ontologi Ilmu Pendidikan    ..…… ……………………….……….………    5
    2.3 Epistemologi Ilmu Pendidikan     ………………………………………….    6
    2.4 Aksiologi Ilmu Pendidikan    …………………..………………………….    7
    2.5 Pengertian Filsafat Ilmu Pendidikan    ……………….………………..    7
    2.6 Peranan Filsafat dalam Ilmu Pendidikan    …………………..…………    9
    2.7 Sasaran Filsafat Ilmu Pendidikan    …….……………………………...    10
BAB III    PENUTUP    ………………………………………………………………    13
    3.1 Simpulan    ………………………………………………………………    13
    3.2 Saran    ………………………………………………………………….    13
DAFTAR PUSTAKA    ……………..………………………………………………    14








BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Ilmu adalah seperangakat pengetahuan yang merupakan buah pemikiran manusia yang memiliki metode tertentu yang berguna untuk umat manusia agar manusia dapat senantiasa eksis dalam kehidupannya. Ilmu yang menjadi alat bagi manusia agar dapat menyesuaikan diri dan merubahlingkungan, memiliki kaitan erat dengan kebudayaan. Talcot Parsons (Suriasumantri,1990:272) menyatakan bahwa “Ilmu dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain:dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pulasebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa di dukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan”. Ilmu dan kebudayaan berada dalamposisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak perkembangan ilmudalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaan. Sedangkan di pihak lain,pengembangan ilmu akan mempengrauhi jalannya kebudayaan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ilmu memiliki arti  pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Menurut Suriasumantri (2001:3). Ilmu merupakan salah satu buah pemikirian manusia dalam menjawab pertanyaan. Sementara itu, Paul Freedman dalam The Principles of Scientific Research mendefinisikan ilmu sebagai bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.
Mengingat banyaknya sorotan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia,    banyak pihak yang mengingatkan  perlu adanya telaah yang mendalam terhdap kebijakan pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang diinginkan tidak hanya bersifat substansial seperti yang tercantum dalam kurikulum pendidikan dasar sampai dengan pendidikan di tingkat perguruan tinggi, akan tetapi hendaknya secara integral dapat membentuk manusia Indonesia yang hakiki yang mampu memiliki kecerdasan intelegensi, kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual.
Seiring dengan fenomena tersebut di atas, pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas telah dilaksanakan melalui berbagai upaya seperti, pengembangan dan perbaikan kurikulum, pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan,  sistem evaluasi, pengembangan bahan ajar, pelatihan guru dan tenaga pendidik, dan usaha lainnya.
Pembangunan dalam pendidikan menuntut semua pihak yang terlibat dalam pendidikan memahami hakekat pendidikan yang sesungguhnya, dalam hal ini implementasi filasafat pendidikan perlu dijalankan oleh semua pihak yang terlibat dalam pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
1.2.    Rumusan Masalah
1.    Apa definisi filsafat ?
2.    Apa yang dimaksud dengan ontology ilmu pendidikan ?
3.    Apa yang dimaksud dengan epistemology ilmu pendidikan ?
4.    Apa yang dimaksud dengan aksiologi ilmu pendidikan ?
1.3       Tujuan Masalah
1.    Untuk mengetahui defines ontology,epistemology dan aksiologi ilmu pendidikan
2.    Untuk mengetahui hubungan dan peranan anatara filsafat dengan filsafat  ilmu pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.    Pengertian Filsafat
Filsafat dan filosof berasal dari kata Yunani, yaitu Philosophia dan philosophos. Menurut bentuk kata, seorang philosophos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Pendapat lain mengatakan bahwa filsafat menurut asal katanya adalah "cinta akan kebenaran", yang berasal dari bahasa Yunani philos (cinta) dan shopia (kebenaran). Ada juga yang berpendapat bahwa, kata falsafah berasal dari bahasa Yunani Kuno, apabila diterjemahkan secara bebas berarti "cinta akan hikmah". Dengan demikian falsafat itu sendiri bukanlah hikmah; tetapi filsafat adalah cinta terhadap hikmah dan selalu berusaha untuk mendapatkan hikmah. Oleh karena itu, seorang filosof atau orang yang mencintai hikmah akan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian kepadanya dan menciptakan sikap yang positif terhadapnya. Di samping itu, dalam mencari hakekat sesuatu, akan berusaha menentukan sebab akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman­-pengalaman manusia.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pengertian filsafat itu berbeda-beda sesuai dengan pandangan masing-­masing. Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang pengertian filsafat dari beberapa ahli :
Menurut Muhammad Noor Syam, istilah filsafat mengandung pengertian sebagai berikut :
1.    Filsafat sebagai aktivitas pikir mumi (reflective-thinking), atau kegiatan akal manusia dalam usaha untuk mengerti secara mendalam tentang segala sesuatu.
2.    Filsafat sebagai hasil kegiatan berpikir mumi mengandung pengertian bahwa filsafat merupakan wujud suatu "ilmu" sebagai hasil pemikiran dan penyelidikan berfilsafat itu. Juga merupakan suatu bentuk perbendaharaan yang terorganisir dan memiliki sistematika tertentu, atau merupakan suatu bentuk ajaran tentang segala sesuatu sebagai satu ideologi.

Dari pengertian tersebut kita memperoleh penjelasan bahwa filsafat bukan sekedar suatu aktivitas berpikir, suatu usaha dan suatu proses, melainkan mengandung kedua-duanya, yaitu sebagai aktivitas berpikir dan sebagai perbendaharaan hasil aktivitas berpikir tersebut. Bahkan sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, filsafat telah terwujud sebagai suatu ilmu yang sangat berpengaruh, juga merupakan suatu falsafah negara yang akan selalu dijungjung tinggi.
Setiap uraian tentang pengertian filsafat akan selalu mencakup kedua makna tersebut, sebab keduanya memiliki hubungan yang erat antara aktivitas dengan produknya.
1.    Menurut W H. Kilpatrick, filsafat adalah pembahasan secara kritis tentang nilai-nilai kehidupan yang berlawanan, sedapat mungkin berusaha untuk mendapatkan cara bagaimana mengelola kehidupan sekalipun bertentangan.
2.    Pandangan ini, filsafat berusaha mengarahkan suatu pengertian yang cukup dan paham kehidupan yang meliputi suatu kehidupan yang ideal. Maka berfilsafat berarti memikirkan atau merenung­kan nilai-nilai yang terbaik dan ideal.
3.    Menurut Charles Gore, filsafat ialah hasil usaha akal budi atau berpikir manusia secara mendalam. Hal itu mengingat bahwa tidak ada batasan tertentu tentang mendalamnya suatu usaha berpikir, karena sifatnya kualitatif dan dihayati sehingga dapat dibedakan mana yang filsafat dan mana yang bukan. Disamping itu, ilmu pengetahuanpun sangat besar peranannya terhadap pemahaman filsafat itu.
4.    Menurut Brubacher, filsafat berasal dari perkataan Yunani Kuno, yaitu filos dan sofia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar ilmu pengetahuan. Atau diartikan pula sebagai cinta belajar. Dalam proses pertumbuhan ilmu-ilmu pengetahuan (Sciences) hanya ada di dalam filsafat. Maka filsafat pun dikatakan sebagai induk atau ratu ilmu pengetahuan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang digumuli sejak sekola dasar pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi, berfilsafat tentang ilmu berarti terus terang kepada diri sendiri. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang digunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Semantara filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
        Sedangkan Pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.

2.2.     Ontologi ilmu pendidikan
    Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realita yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek material ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya). Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

2.3    Epistemoligi Ilmu Pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun berdasarkan objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian expost facto. Inti dasar epistemologis adalah bahwa dalam menjelaskaan objek formalnya, ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunkan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942).

2.4    Aksiologi ilmu pendidikan
Manfaatan teori Aksiologi ilmu pendidikan tidak hanya penting sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas menilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu - ilmu terdapat unifikasi satu - satunya metode ilmiah (KalrPerason,1990).

2.5. Pengertian Filsafat Ilmu Pendidikan
Filsafat Ilmu pendidikan menururt Al-Syaibany (19?9:30) adalah :
"Pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari­ segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis".
Filsafat Ilmu pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat. Masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat umum, seperti :
1.    Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuk mencapainya
2.    Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima pendidikan
3.    Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasamya merupakan suatu proses sosial
4.    Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk tercapainya
Selanjutnya Al Syaibany (1979) berpandangan bahwa filsafat ilmu pendidikan, seperti halnya filsafat umum, berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan proses pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha untuk mendalami konsep-konsep pendidikan dan memahami sebab-sebab yang hakiki dari masalah pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha juga membahas tentang segala mungkin mengarahkan proses pendidikan.
Pada bagian lain Al Syaibany (1979) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas yang diharapkan dilakukan oleh seorang filsof pendidikan, diantaranya :
1.    Merancangkan dengan bijak dan arif untuk menjadikan proses dan usaha-usaha pendidikan pada suatu bangsa
2.    Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar beriman kepada Tuhan dengan segala aspeknya
3.    Menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat dan mengubah cara-cara hidup mereka ke arah yang lebih baik
4.    Mendidik akhlak, perasaan seri dan keindahan pada masyarakat, dan menumbuhkan pada diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan cara-cara mencapai kebenaran tersebut.
Filosof menyeluruh tentang wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhan, kemanusiaan, pengetahuan kealaman dan pengetahuan sosial. Filsof pendidikan harus pula mampu memahami nilai-nilai kemanusiaan yang terpancar pada nilai-nilai kebaikan, keindahan dan kebenaran. Filsafat Ilmu pendidikan dikatakan spekulatif karena berusaha membangun teori-teori hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat dunia, yang sangat bermanfaat dalam menafsirkan data-data sebagai hasil hasil penelitian sains yang berbeda. Filsafat Ilmu pendidikan dikatakan preskriptif apabila filsafat pendidikan menentukan tujuan-tujuan yang harus diikuti dan dicapainya, dan menentukan cara-cara yang tepat dan benar untuk digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Karena secara tersurat menentukan tujuan pendidikan yang akan dicapai.
Filsafat Ilmu pendidikan dikatakan analitik, apabila filsafat pendidikan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan spekulatif dan preskriptif. Misalnya menguji rasinalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan dan menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. Misalnya kita memperkenalkan konsep “Cara Belajar Siswa Aktif”.  Filsafat pendidikan analitik menguji logis konsep-konsep pendidikan, seperti apa yang dimaksud dengan : “Pendidikan Dasar 9 Tahun”, “Pendidikan Akademik”, “Pendidikan Seumur Hidup” dan sebagainya
Peranan-peranan filsafat tersebut sangat besar dalam mendasari berbagai aspek pendidikan bagi pembinaan pedagogik.

2.6. Peranan filsafat dalam Ilmu pendidikan
Setelah kita mempelajari arti filsafat dan pendidikan dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan itu adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya.
Peranan filsafat pendidikan menurut para ahli
1.    Brauner dan Burn berpendapat bahwa pendidikan dan filsafat tidak dapat dipisahkan, karena tujuan pendidikan sama dengan tujuan filsafat. Kebijaksanaan dan jalan yang ditempuh oleh filsafat sama dengan yang ditempuh oleh pendidikan.
2.    Kupatrick mengemukakan bahwa berfilsafat dan mendidik adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha untuk merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita tersebut di dalam kehidupan dan kepribadian manusia.
3.    Prof. Brameld berpendapat bahwa untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan secara efisien kita harus membawa filsafat. Filsafat selain digunakan untuk mengatasi persoalan pendidikan dengan efisien jelas dan sistematis, juga berfungsi sebagai alat analisa, untuk sinthesis dan penialain.

2.7. Sasaran Filsafat Ilmu Pendidikan
    2.7.1.  Tujuan Ilmu Pendidikan
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Karena bersifat filosofis, maka hakekatnya adalah penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan. Sasaran utamanya adalah tujuan pendidikan, sebagai jawiban dari pertanyaan "Untuk apa sekolah ini diadakan?; Ke arah mana pendidikan ini akan dibawa?". Untuk menentukan tujuan pendi­dikan itu, filsafat mengadakan tinjauan yang luas dan mendalam mengenai realita, dikupaslah pandangan tentang dunia dan pandangan hidup manusia. Akhimya konsep-konsep dari semua itu dijadikan landasan penyusunan konsep tujuan pendidikan. Kemudian, dikupas pula mengenai pengalaman pendidik dalam mengembangkan dan menumbuhkan anak yang berhubungan dengan realita. Semua ini akan dipakai sebagai bahan pertim­bangan dalam mengembangkan diri. Di samping itu dikaji pula pandangan mengenai hakekat Khalik, makhluk, alam semesta, pengetahuan dan nilai-nilai. Semuanya dipadukan dalam menentukan kurikulum.
2.7.2    Metode
Apabila tujuan telah dirumuskan sesuai dengan tujuan filsafat yang dianut, langkah selanjutnya adalah mengupas ten­tang cara-cara menerapkan aspek-aspek pendidikan yang terkan­dung dalam tujuan pendidikan. Filsafat akan mengadakan pem­bahasan tentang aku (ego) dan tujuan, lalu dibahas pula metode apa yang tepat bagi pribadi yang bersangkutan. Misalnya, berdasarkan ilmu jiwa kepribadian, aliran monisme faham Mate­rialisme menganggap bahwa manusia adalah makhluk reaksi, pola reaksinya disampaikan sebagai stimulus response. Untuk mening­katkan efektivitas tingkah laku manusia hanya dibutuhkan pengalaman atau latihan (drill). Sedangkan menurut aliran monisme faham Idealisme memandang bahwa manusia itu asas primemya adalah jiwa, karena jasmani tanpa jiwa tidak akan berdaya. Maka pendidikan harus dilaksanakan berdasarkan kodrat dan kebutuhan asas roldaani, untuk membina rasio, perasaan, kemauan dan spirit manusia.
Dari kedua faham tersebut bisa melahirkan beberapa metode yang bisa digunakan dalam proses pendidikan, misalnya metode latihan, metode penugasan, metode ceramah dan sebagainya. Jadi memilih metode pun harus mengacu kepada tujuanberdasarkan kajian filsafat.

2.7.3     Alat Pendidikan
Yang dimaksud dengn alat pendidikan ialah segala sesuatu apa yang dipergunakan dalam usaha mencapai pendidikan. Pendidikan pun merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Berdasarkan fungsinya, alat-alat pendidikan dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu :
·    Alat sebagai perlengkapan.
·    Alat sebagai pembantu dalam mempermudah usaha pencapaian tujuan.
·    Alat sebagai tujuan.
Dalam memikirkan alat-alat yang akan dipakai dalam pendidikan, fungsi setiap alat sebaiknya diperhitungkan. Antara lain soal kematangan anak-anak untuk menerima pendidikan itu, dan soal ruangan serta waktunya. Jadi pemilihan alat harus disesuaikan dengan hal-hal tersebut.
Berdasarkan taraf-taraf perkembangan anak, alat-alat pendidikan terbagi atas :
·    Alat-alat yang memberi perlengkapan berupa kecakapan berbuat dan pengetahuan hapalan. Alat ini dapat disebut sebagai alat pembiasaan.
·    Alat-alat untuk memberi pengertian, membentuk sikap, minat dan cara-cara berpikir.
·    Alat-alat yang membawa ke arah keheningan bathin, kepercayaan dan penyerahan diri kepada Tuhan.
Selain pembagian tersebut, alat-alat pendidikan dapat pula dibedakan atas :
·    Alat-alat langsung, yaitu alat-alat yang bersifat menganjurkan sej alan dengan maksud usaha.
·    Alat-alat tidak langsung; yaitu alat-alat yang bersifat pence­gahan dan pembasmian hal-hal yang bertentangan dengan maksud usaha.
Alat-alat langsung disebut juga alat positif, misalnya segala jenis anjuran, perintah, keharusan. Sedangkan alat-alat tidak langsung disebut alat negatif, misalnya larangan-larangan, peringatan­peringatan dan sejenisnya dengan segala akibatnya,. Pembagian yang lain adalah si terdidik dan pendidik. Disamping ketiga hal tersebut, yang termasuk sasaran Filsafat Pendidikan adalah faktor-faktor pendidikan, dan usaha-usaha mengintegrasikan ilmu pengetahuan yang mendukung usaha pendidikan.







BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Filsafat Ilmu pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seseorang mengenai pendidikan yang merupakan kumpulan dari prinsip yang membimbing tindakan profesional seseorang. Lebih jauh lagi filsafat Ilmu pendidikan berkaitan dengan “Penetapan hakekat dari tujuan, alat pendidikan, dan menerjemahkan prinsip-prinsip ini dalam kebijakan-kebijakan untuk mengimplementasikan.
Maka dengan memahami filsafat ilmu pendidikan. Pelaksanaan pendidikan akan lebih efektif dan efisien lebih mengarah kepada sasaran yang akan di capai sehingga mempercepat tercapainya tujuan pendidikan.

3.2. SARAN
Dengan adanya hubungan anatara filsafat dengan filsafat ilmu pendidikan maka disarankan kepada mahasiswa untuk menggali pengetahuan lebih dalam lagi dalam referensi-referensi lain yang lebih lengkap tentang filsafat ilmu pendidikan lainnya.Sehingga dapat menerapkannya dalam dunia pendidikan dan mencapai tujuannya.






DAFTAR PUSTAKA
Agustrisno,dkk.(2005).Filsafat.Medan:USU
Jujun S.Suriasumantri.(2005) Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.Jakarta:Sinar Harapan
Suparno,Paul, dkk.(1997).Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan.Yogyakarta: Kanisius
Syafarudin,dkk.(2003).Filsafat Ilmu Pendidikan.Medan :Yayasan Penerbit Pendidikan FKIP IAIN
Usiono.(2009).Pengantar Filsafat Pendidikan.Jakarta:Hijri Pustaka Utama.
http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com







No comments:

Post a Comment